9:10 PM Tentang Ayub (I) |
Firman Tuhan - Tentang Ayub (I)Setelah mengetahui bagaimana Ayub menjalani ujian, sebagian besar dari antaramu mungkin ingin mengetahui lebih terperinci tentang Ayub itu sendiri, khususnya yang berkaitan dengan rahasia bagaimana dia mendapatkan pujian Tuhan. Jadi sekarang, mari kita membicarakan tentang Ayub! Dalam Kehidupan Sehari-hari Ayub, Kita Melihat Kesempurnaan, Kejujuran, Sikap Takut akan Tuhan, dan Menjauhi Kejahatan Jika kita akan membahas tentang Ayub, kita harus mulai dengan penilaian tentang dia yang diucapkan dari mulut Tuhan sendiri: "tidak ada seorang pun seperti dia di bumi, yang demikian tak bercela dan jujur, yang takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan." Pertama, mari kita belajar tentang kesempurnaan dan kejujuran Ayub. Apa pemahaman engkau semua, mengenai kata "tak bercela" dan "jujur"? Apakah engkau semua percaya bahwa Ayub itu tanpa cela dan terhormat? Tentu saja, ini merupakan penafsiran dan pemahaman harfiah tentang kata "tak bercela" dan "jujur." Bagian terpadu untuk memperoleh pemahaman yang benar tentang Ayub adalah kehidupan nyata—perkataan, buku, dan teori saja tidak akan memberikan jawaban apa pun. Kita akan mulai dengan melihat kehidupan keluarga Ayub, seperti apa tingkah laku normalnya selama hidupnya. Ini akan memberitahukan kepada kita tentang prinsip dan tujuan hidupnya, juga tentang kepribadian dan pengejarannya. Sekarang, mari kita baca perkataan terakhir dalam Ayub 1:3: "Orang ini adalah yang terkaya di antara semua orang di Timur." Yang dimaksud dengan perkataan ini adalah bahwa status dan kedudukan Ayub sangat tinggi, dan meskipun kita tidak diberi tahu apakah dia paling terkenal dari semua orang di Timur karena kekayaannya yang melimpah, atau karena dia tak bercela dan jujur serta takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan, secara keseluruhan, kita tahu bahwa status dan kedudukan Ayub sangat dihargai. Sebagaimana dicatat dalam Alkitab, kesan pertama orang tentang Ayub adalah bahwa Ayub tak bercela, bahwa dia takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan, dan bahwa dia memiliki kekayaan melimpah dan status yang mulia. Bagi orang biasa yang tinggal di lingkungan seperti itu dan dalam keadaan seperti itu, makanan Ayub, taraf hidupnya, dan berbagai aspek kehidupan pribadinya akan menjadi fokus perhatian kebanyakan orang. Jadi, kita harus melanjutkan membaca Alkitab: "Anak-anak lelakinya pergi dan berpesta di rumah mereka, setiap hari bergiliran; dan mengundang ketiga saudari mereka untuk makan dan minum bersama-sama dengan mereka. Demikianlah, setelah hari-hari pesta berakhir, Ayub memanggil mereka dan menguduskan mereka; ia bangun pagi-pagi benar dan mempersembahkan korban bakaran sesuai dengan jumlah anak-anaknya: karena Ayub berkata: 'Mungkin saja anak-anak lelakiku sudah berbuat dosa dan mengutuki Tuhan dalam hati mereka.' Demikianlah yang senantiasa dilakukan Ayub" (Ayub 1:4-5). Perikop ini memberitahu kepada kita dua hal: Yang pertama adalah putra dan putri Ayub selalu berpesta, makan dan minum. Yang kedua adalah bahwa Ayub sering mempersembahkan korban bakaran karena dia sering mengkhawatirkan mereka, takut bahwa mereka berbuat dosa, bahwa di dalam hati mereka, mereka telah mengutuk Tuhan. Di sini diuraikan kehidupan dua tipe orang yang berbeda. Yang pertama, putra dan putri Ayub, sering berpesta karena kekayaan mereka. Mereka hidup mewah. Mereka makan dan minum sepuas hati mereka, dengan menikmati taraf hidup yang tinggi berkat kekayaan materi. Menjalani kehidupan seperti itu, tak terhindarkan bahwa mereka akan sering berdosa dan menyinggung Tuhan—tetapi mereka tidak menguduskan diri mereka sendiri atau sebagai akibatnya mempersembahkan korban bakaran. Jadi, jelas bahwa Tuhan tidak memiliki tempat di hati mereka, bahwa mereka tidak memikirkan kasih karunia Tuhan, ataupun takut menyinggung Tuhan, apalagi takut meninggalkan Tuhan di dalam hati mereka. Tentu saja, fokus perhatian kita bukan pada anak-anak Ayub, tetapi pada apa yang Ayub lakukan ketika berhadapan dengan hal-hal seperti itu. Ini adalah masalah lain yang dijelaskan pada perikop itu, dan yang melibatkan kehidupan sehari-hari Ayub serta hakikat kemanusiaannya. Ketika Alkitab menguraikan pesta putra dan putri Ayub, tidak disebutkan tentang Ayub. Hanya dikatakan bahwa putra dan putrinya sering makan dan minum bersama. Dengan kata lain, Ayub tidak mengadakan pesta, dan dia juga tidak bergabung dengan putra dan putrinya dalam makan yang berlebihan. Meskipun kaya dan memiliki banyak harta dan pembantu, kehidupan Ayub bukanlah kehidupan yang mewah. Dia tidak terpedaya oleh lingkungan hidupnya yang kaya, dan dia tidak memanjakan dirinya sendiri dengan kenikmatan jasmani atau lupa mempersembahkan korban bakaran karena kekayaannya, apalagi menyebabkan dia secara bertahap meninggalkan Tuhan di dalam hatinya. Jadi, jelaslah bahwa Ayub disiplin dalam gaya hidupnya dan tidak serakah ataupun hedonistik, dan dia juga tidak terpaku pada taraf hidup karena berkat yang Tuhan karuniakan kepadanya. Sebaliknya, dia rendah hati dan sederhana dan waspada serta berhati-hati di hadapan Tuhan. Dia sering memikirkan kasih karunia dan berkat Tuhan dan terus-menerus takut akan Tuhan. Dalam kehidupannya sehari-hari, Ayub sering bangun pagi-pagi untuk mempersembahkan korban bakaran bagi putra-putrinya. Dengan kata lain, bukan hanya Ayub sendiri takut akan Tuhan, tetapi dia juga berharap anak-anaknya juga takut akan Tuhan dan tidak berdosa terhadap Tuhan. Kekayaan materi Ayub tidak memiliki tempat di dalam hatinya, dan hal itu juga tidak menggantikan kedudukan yang ditempati oleh Tuhan. Apakah demi dirinya sendiri ataukah anak-anaknya, tindakan sehari-hari Ayub semuanya berkaitan dengan sikapnya yang takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan. Sikap takutnya akan Tuhan Yahweh tidak berhenti di mulutnya tetapi diterapkan dan tecermin dalam masing-masing dan setiap bagian dari kehidupannya sehari-hari. Tingkah laku nyata Ayub ini menunjukkan kepada kita bahwa dia jujur dan memiliki hakikat yang mencintai keadilan dan hal-hal yang positif. Bahwa Ayub sering memanggil dan menguduskan putra-putrinya berarti dia tidak merestui atau menyetujui perilaku anak-anaknya. Sebaliknya, di dalam hatinya dia muak dengan perilaku mereka dan mengutuk mereka. Dia menyimpulkan bahwa perilaku putra-putrinya itu tidak menyenangkan Tuhan Yahweh, dan karena itu dia sering memanggil mereka untuk menghadap Tuhan Yahweh dan mengakui dosa mereka. Tindakan Ayub menunjukkan kepada kita sisi lain dari kemanusiaannya: dia tidak pernah berjalan bersama orang yang sering berbuat dosa dan menyinggung Tuhan, tetapi sebaliknya, ia menjauhi dan menghindari mereka. Meskipun orang-orang ini adalah putra dan putrinya, dia tidak meninggalkan prinsipnya sendiri karena mereka adalah keluarganya sendiri, dan dia juga tidak membiarkan dosa-dosa mereka karena perasaannya sendiri. Sebaliknya, dia mendesak mereka untuk mengakui dan memperoleh pengampunan Tuhan Yahweh, dan dia memperingatkan mereka agar tidak meninggalkan Tuhan demi kesenangan mereka sendiri yang tamak. Prinsip bagaimana Ayub memperlakukan orang lain tidak dapat dipisahkan dari prinsip sikapnya yang takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan. Dia mencintai apa yang diterima oleh Tuhan dan membenci apa yang ditolak oleh Tuhan, dan dia mencintai mereka yang takut kepada Tuhan di dalam hati mereka dan membenci mereka yang melakukan kejahatan atau dosa terhadap Tuhan. Cinta dan kebencian seperti ini ditunjukkan dalam kehidupannya sehari-hari dan merupakan kejujuran Ayub yang dilihat oleh mata Tuhan. Tentu saja, ini juga merupakan ungkapan dan perwujudan kemanusiaan sejati Ayub dalam hubungannya dengan orang lain dalam kehidupannya sehari-hari yang harus kita pelajari. Perwujudan Kemanusiaan Ayub selama Ujian-Nya (Memahami Kesempurnaan, Kejujuran, Sikap Ayub yang Takut akan Tuhan, dan Menjauhi Kejahatan Selama Ujian-Nya) Apa yang telah kita bahas di atas adalah berbagai aspek kemanusiaan Ayub yang ditunjukkan dalam kehidupannya sehari-hari sebelum ujiannya. Tidak diragukan lagi, berbagai perwujudan ini memberikan pengenalan awal dan pemahaman tentang kejujuran, tentang sikap Ayub yang takut akan Tuhan, dan menjauhi kejahatan, dan secara alami memberikan penegasan awal. Alasan mengapa Aku mengatakan "awal" adalah karena kebanyakan orang masih tidak memiliki pemahaman yang benar tentang kepribadian Ayub dan sejauh mana dia mengejar jalan taat dan takut akan Tuhan. Artinya, pemahaman kebanyakan orang tentang Ayub tidak melampaui kesan yang cukup baik tentang dia yang ditimbulkan oleh perkataannya dalam Alkitab bahwa "Yahweh yang memberi, Yahweh juga yang mengambil; terpujilah nama Yahweh" dan "Apakah kita mau menerima yang baik dari tangan Tuhan dan tidak mau menerima yang jahat?" Jadi, ada keharusan besar bagi kita untuk memahami bagaimana Ayub menghidupi kemanusiaannya ketika dia menerima ujian dari Tuhan. Dengan demikian, kemanusiaan sejati Ayub akan diperlihatkan kepada semua orang secara keseluruhan. Ketika Ayub mendengar bahwa harta miliknya telah dicuri, bahwa putra dan putrinya telah kehilangan nyawa mereka, dan bahwa para pelayannya telah terbunuh, dia bereaksi sebagai berikut: "Lalu Ayub bangun, mengoyak jubahnya, dan mencukur kepalanya, kemudian tersungkur dan menyembah" (Ayub 1:20). Perkataan ini memberitahukan kepada kita satu fakta: Setelah mendengar berita ini, Ayub tidak panik, dia tidak menangis, atau menyalahkan para pelayan yang telah menyampaikan berita itu kepadanya, apalagi memeriksa tempat kejadian perkara untuk menyelidiki dan memastikan mengapa dan di mana serta mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Dia tidak menunjukkan rasa sakit atau penyesalan karena kehilangan harta miliknya, juga tidak menangis karena kehilangan anak-anaknya, orang-orang yang dicintainya. Sebaliknya, dia mengoyak jubahnya, dan mencukur kepalanya, lalu tersungkur dan menyembah. Tindakan Ayub tidak sama dengan tindakan manusia biasa. Tindakannya membingungkan banyak orang, dan membuat mereka menegur Ayub oleh karena "sikap dinginnya" di dalam hati mereka. Saat kehilangan harta mereka secara mendadak, orang biasa akan tampak sedih atau putus asa—atau, dalam kasus sebagian orang, mereka bahkan mungkin mengalami depresi berat. Itu karena, di dalam hati mereka, harta manusia melambangkan usaha seumur hidup. Itulah yang diandalkan bagi kelangsungan hidup mereka. Itu adalah harapan yang membuat mereka tetap hidup. Hilangnya harta mereka berarti usaha mereka sia-sia, bahwa mereka kehilangan harapan, dan bahkan mereka tidak punya masa depan. Ini sikap orang biasa terhadap harta mereka dan hubungan mereka yang erat dengan semua itu, dan ini juga menunjukkan pentingnya harta di mata manusia. Dengan demikian, sebagian besar orang merasa bingung dengan sikap dingin Ayub terhadap kehilangan hartanya. Sekarang, kita akan menghilangkan kebingungan semua orang ini dengan menjelaskan apa yang sedang terjadi di dalam hati Ayub. Akal sehat menyatakan bahwa, karena telah diberi harta yang melimpah oleh Tuhan, Ayub seharusnya merasa malu di hadapan Tuhan karena kehilangan harta ini, karena dia tidak menjaga atau merawatnya, karena dia tidak memelihara harta yang diberikan Tuhan kepadanya. Jadi, ketika dia mendengar bahwa hartanya telah dicuri, reaksi pertamanya seharusnya pergi ke tempat kejadian perkara dan mencatat semua yang telah hilang, dan kemudian menyampaikan pengakuan dosa kepada Tuhan sehingga dia mungkin sekali lagi menerima berkat Tuhan. Namun, Ayub tidak melakukan ini—dan dia tentu punya alasan sendiri untuk tidak melakukannya. Dalam hatinya, Ayub sangat percaya bahwa semua yang dia miliki telah dianugerahkan kepadanya oleh Tuhan, dan bukan diperoleh karena usahanya sendiri. Dengan demikian, dia tidak melihat semua berkat ini sebagai sesuatu yang harus dimanfaatkan, tetapi berpegang pada jalan yang seharusnya dan melakukannya dengan sekuat tenaga sebagai prinsip hidupnya. Dia menghargai berkat Tuhan, dan mengucap syukur atas berkat itu, tetapi dia tidak terpikat olehnya, dan dia juga tidak mencari berkat yang lebih banyak lagi. Seperti itulah sikapnya terhadap harta. Dia tidak melakukan apa pun demi mendapatkan berkat, dan dia juga tidak khawatir atau sedih karena kurangnya atau hilangnya berkat Tuhan. Dia tidak menjadi liar, bahagia berlebihan karena berkat Tuhan, dan dia juga tidak mengabaikan jalan Tuhan atau melupakan kasih karunia Tuhan oleh karena berkat yang sering dia nikmati. Sikap Ayub terhadap hartanya mengungkapkan kepada orang-orang kemanusiaannya yang sejati: Pertama, Ayub bukanlah manusia yang tamak dan ia tidak banyak menuntut dalam kehidupan materielnya. Kedua, Ayub tidak pernah khawatir atau takut bahwa Tuhan akan mengambil semua yang dia miliki, yang merupakan sikap ketaatannya kepada Tuhan di dalam hatinya; artinya, dia tidak memiliki tuntutan ataupun keluhan tentang kapan atau apakah Tuhan akan mengambil darinya, dan tidak menanyakan alasannya, tetapi hanya berusaha untuk mematuhi pengaturan Tuhan. Ketiga, dia tidak pernah menganggap hartanya berasal dari usahanya sendiri, tetapi dianugerahkan kepadanya oleh Tuhan. Ini adalah iman Ayub kepada Tuhan, dan merupakan tanda keyakinannya. Apakah kemanusiaan Ayub dan pengejarannya sehari-hari yang sebenarnya sudah jelas dalam ringkasan tiga poin tentang dirinya ini? Kemanusiaan dan pengejaran Ayub merupakan bagian terpadu dari perilaku dinginnya ketika menghadapi kehilangan hartanya. Justru karena pengejarannya sehari-hari, Ayub memiliki kedudukan dan keyakinan untuk berkata: "Yahweh yang memberi, Yahweh juga yang mengambil; terpujilah nama Yahweh" selama ujian dari Tuhan tersebut. Perkataan ini tidak diperoleh dalam semalam, dan perkataan ini juga tidak baru saja muncul di kepala Ayub. Perkataan ini adalah apa yang telah dilihat dan diperolehnya selama bertahun-tahun menjalani kehidupan. Dibandingkan dengan semua orang yang hanya mencari berkat Tuhan, dan yang takut bahwa Tuhan akan mengambil dari mereka, dan membenci serta mengeluhkan tentang hal itu, tidakkah ketaatan Ayub ini sungguh nyata? Dibandingkan dengan semua orang yang percaya bahwa ada Tuhan, tetapi yang tidak pernah percaya bahwa Tuhan berkuasa atas segalanya, bukankah Ayub memiliki kejujuran dan ketulusan yang luar biasa? Sumber Artikel dari "Belajar Alkitab" |
|
Total comments: 0 | |